Membangun Sosok Polisi Ideal
Polisi Ideal Reinkarnasi Sosok Gatotkaca
Diantara deretan film superhero Marvel dan DC Comics pengisi tahun 2022, dari The Batman (Robert Pattinson) hingga Aquaman the Lost Kingdom (Jason Momoa), ternyata Indonesia juga merilis film Kesatria Dewa Gatotkaca, yang disutradarai Hanung Bramantyo.
Kisah Gatotkaca, lahir dari epik Kitab Bharatayuda. Seorang Kesatria Pringgondani, putera Arimbi dari keluarga Pandawa, di Hastinapura.
Mewakili supremasi superhero Nusantara; Berotot kawat, bertulang besi, ber-armor Gatotkaca, berkat Medali Brajamusti.
Apa urgensinya cerita Gatotkaca, atau semua fantasi superhero?. Apa karena sekedar idealisme “kepahlawanan?”.
Sebenarnya, dalam sosok seorang manusia ada actus reus, esensi dari perbuatan jahat atau kejahatan itu sendiri, begitu juga ada means rea, sikap batin pelaku saat melakukan tindak kejahatan, sebuah kodrati bawaan manusia.

Lantas, dalam dunia nyata, siapa sosok “superhero” yang bisa mewakili fantasi kita?.
Apakah sosok Polri dengan Presisi-nya, bisa menjadi simbol dari “kekuatan” dan nurani seperti idealnya sosok Gatotkaca, superhero kita?. Karena Polri-Presisi, adalah sebuah gagasan sosok polisi canggih, tapi makin merunduk seperti padi.
Sebenarnya, ketika bicara tentang Polri dengan segala kiprahnya, juga sangat kompleks. Bagaimanapun, saat melayani masyarakat sebagai abdi negara, Polri juga punya prinsip seimbang antara hukum dan moral. Tindakannya terukur, tidak sembarangan, bertanggung jawab sesuai hukum.
Intinya untuk mencegah, menghambat, menghentikan tindak kejahatan yang mengancam keselamatan, atau membahayakan jiwa, bahkan kehormatan kesusilaan masyarakat yang dilindunginya.
Kongkritnya, kita menyebut sikap itu sebagai nilai-nilai diskresi. Ada wewenang, ketika polisi bertindak, memutuskan, dalam situasi tertentu juga membutuhkan pertimbangan yang tidak sepele dan main-main. Diantara garis batas hukum dan moral. Jadi ini bukan perkara sederhana!. Bayangkan jika kita berada di posisi mereka.
Apa urgensi dari tindakannya itu?. Menghindari kekuatan berlebihan, dan tidak bertanggung jawab. Menggunakan kekuatan juga memakai prinsip dasar. Tindakannya harus sesuai legalitas, proporsionalitas, preventif, nesesitas, kewajiban umum, dan masuk akal, bukan sekedar “pamer kekuatan”.
Kongkritnya, ketika Polisi memakai prinsip nesesitas, harus sebuah “tindakan yang luar biasa”. Artinya, kalau masih ada pilihan lain selain menangkap, menahan tersangka, maka wajib lakukan tindakan terbaik. Nah, Polri berkeyakinan, bertindak dengan kekuatan, bukan sekedar menjadi seorang “superhero” unsich!.
Akar etika profesinya saja, kristalisasi nilai-nilai Tribrata, berlandasan Pancasila. Komitmen moralnya etika kepribadian, kenegaraan, kelembagaan, dan hubungan dengan masyarakat. Mengapa?, karena Tribrata itu internalisasi nilai warisan kearifan bangsa Indonesia.
Nah, inilah sebenarnya wujud dari “reinkarnasi” sosok seorang “Gatotkaca” dalam implementasi kerja-kerja Polri Presisi yang berbasis nurani!.
Sebagai pemahaman, Reinkarnasi menurut Encyclopedia Britannica, adalah kelahiran kembali individu; kesadaran, pikiran, jiwa, tergantung tradisi yang diyakini. Ber-reinkarnasi artinya bisa saja ber-metamorfosa bentuk menjadi sosok lain dengan kekuatan lebih baik.
Dengan positioning Polri Presisi-Prediktif, Responsibilitas dan Transparansi Berkeadilan, secara perlahan Polri bertransformasi. Proses perubahannya juga tidak mendadak, tapi berangsur-angsur hingga sampai tahapan ultimate.
Perubahan dilakukan dengan merespon semua pengaruh eksternal dan internal, yang menstimulasi dan mengarahkan perubahan, dari bentuk yang sudah dikenal sebelumnya, melalui sebuah proses menjadi lebih baik lagi.
Tapi Polri Presisi tak hanya dilengkapi Tribrata saja, tapi juga optimalisasi potensi berbasis teknologi yang membuat Polri tak hanya makin digital ketika bertransformasi, tapi juga menjadi makin transparan dan akuntabel.
Polri presisi melengkapi transformasinya dengan program unggulan, SIM STNK Online, Virtual Police, Tilang Elektronik, dan Aplikasi Dumas-Aplikasi pengaduan masyarakat berbasis teknologi pintar. Polri Presisi jadi semakin canggih, tapi juga mendapat tantangan baru yang lebih kompleks, agar semakin dipercaya dan dibutuhkan masyarakat.
Capaian Sejak 100 Hari Pertama
Ternyata reformasi Polri-Presisi, membuat “semua mata tertuju pada Polri”. Masyarakat, media, bahkan mata dunia memonitor, layaknya menelusuri track record perjalanan “tokoh”, bahkan hingga hitungan 100 hari pertamanya.
Langkah paling apresiasitif dari Kapolri Jenderal Polisi Drs. Listyo Sigit Prabowo, M.Si., sejak dilantik Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 27 Januari 2021 silam, adalah inisiatifnya merekam jejak langkah program reformatif-nya, lewat catatan literasi “Setapak Perubahan: Catatan Pencapaian Satu Tahun Polri yang Presisi”.
Sebuah cara reformatif jitu merekam begitu banyak capaian positif yang dapat di “nikmati” khalayak dengan cara populis.
Gebrakan 100 hari pertama Kapolri, membukukan tiga penghargaan rekor Museum Rekor Indonesia (Rekor MURI) atas program Presisi; Program prioritas Kapolri terbanyak dalam 100 hari pertama, Program Prioritas Kapolri dalam 100 hari, dan Terobosan kreatif terbanyak dalam 100 hari, yakni 8.220 ide.
Tapi Polri Presisi tak berhenti di tataran kebanggaan formal belaka. Gagasannya lantas disederhanakan dalam wujud “empat transformasi”, dengan 16 program prioritas, 51 kegiatan 177 aksi, dan delapan komitmen.
Dan selama setahun capaian dalam setapak perubahan, fokus utama Polri yang Presisi, pada fungsi pokok Polri; melayani, melindungi dan mengayomi masyarakat!.
Tentu saja langkah reformatif itu, mendapat dukungan positif karena selama ini, langkah-langkah kongkrit itulah yang selalu di tunggu. Kalangan pengamat, secara objektif menunjukkan dukungan melalui hasil survei nasional yang kredibel di sepanjang tahun 2021.

Sebagai buktinya, lembaga survei Alvara Strategi Indonesia, mencatat Tingkat Kepercayaan Polri meningkat hingga sebesar 86,5 persen, (survei sebelumnya oleh Litbang Kompas sebesar 70,8 persen). Demikian juga Tingkat Kepuasan terhadap Polri sebesar 82,3 persen, juga mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya (survei dari Alvara Strategi Indonesia sebesar 78,8 persen).
Sementara hasil survei lembaga Charta Politika Indonesia, Polri menduduki peringkat ketiga sebagai lembaga tinggi negara berkinerja paling baik, (pada tahun 2018 sampai 2019 Polri menduduki peringkat keempat). Kemudian peringkat pertama sebagai lembaga penegak hukum berkinerja paling baik (meningkat dari tahun sebelumnya yaitu peringkat ketiga).
Sedangkan menurut Cyrus Network, Polri menduduki peringkat pertama sebagai lembaga penegak hukum yang dipercaya masyarakat, mendapatkan nilai sebesar 86,2 persen, meningkat dari tahun sebelumnya (survei sebelumnya dari Litbang Kompas sebesar 70,8 persen).
Dalam Litbang Polri, terjadi peningkatan Indeks Kepercayaan Masyarakat (IKM) terhadap Polri di tahun 2021 menjadi 83,14 persen yang merupakan IKM tertinggi sejak tahun 2015.
Tapi, ibarat setapak perubahan, ini baru sebuah langkah awal pencapaian dari program Polri Presisi. Ada substansi penting yang ingin dicapai dari reformasi secara menyeluruh. Empat transformasi yang diusung Polri Presisi, seluruhnya sudah mencapai hasil optimal dan akan terus ditingkatkan.
Transformasi Organisasi saat ini telah mencapai, 98,20 persen. Transformasi Operasional sebesar 98,78 persen. Lalu, Transformasi Pengawasan telah mencapai target 98,60 persen, dan Transformasi Pelayanan Masyarakat 96,59 persen. Layanan masyarakat akan terus dipacu, agar tingkat kepercayaan masyarakat terhadap kerja dan kinerja Polri Presisi, semakin baik dengan dukungan proses revitalisasi institusi Polri.

Reinventing Setahun Polri Presisi
Kehadiran sosok polisi yang makin digital dan profesional, masih mengemban misi yang sama, sebagai interpretasi dari dualisme seimbangnya moral dan kekuatan. Artinya, ketika ada tindak kejahatan, ada kebaikan menjadi perisainya. Dan sebagai institusi “pelayan masyarakat”, Polri dituntut menjadi tolok ukur kekuatan hukum dan moralitas tersebut. Bagaimana membuktikannya?.
Jelas saja, tantangan Korps Kepolisian makin kompleks. Betapa tidak, menurut Kapolri, ukuran keberhasilan Polri pada tahun 2025 mendatang, harus ada 9 barometer, yaitu; tidak ada korupsi, tidak ada pelanggaran, APBN dan APBD Baik, semua program selesai dengan baik, semua perijinan selesai dengan cepat dan tepat, komunikasi dengan masyarakat baik, penggunaan waktu jam kerja efektif serta produktif, adanya penerapan reward and punishment secara konsisten dan berkelanjutan, dan hasil pembangunan nyata.
Nah, untuk mencapainya, tata Kepolisian yang baik dalam tubuh Polri, setidaknya membutuhkan 7 prinsip penting; akuntabilitas, efektifitas, keadilan, transparan, responsif, perilaku, dan kompetensi.
Itu artinya Polri melalui Program Presisi yang digagas Kapolri Jenderal Polisi Drs. Listyo Sigit Prabowo, M.Si., sejak 2021 lalu membutuhkan sebuah gagasan yang dapat meningkatkan nilai tambah (value) atas semua potensi sumber dayanya.
Melalui proses “reinventing”, atas kinerja Polri Presisinya, prosesnya akan manjadi semacam medium audit atau evaluasi internal, dan eksternal atas capaian Polri Presisi setelah satu masa implementasinya.
Target utamanya, zona bebas korupsi dan zona birokrasi bersih melayani, dengan perbaikan budaya anti korupsi, budaya kewenangan serta budaya melayani, sebagai prioritas!.
Sebuah sinergisasi yang klop, karena reformasi itu juga sejalan dengan tugas pokok dan fungsi Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB).
Ada 3 sasaran reformasi birokrasi; pemerintahan yang belum bersih, kurang akuntabel serta berkinerja rendah; pemerintahan yang belum efektif dan efisien, dan pelayanan masyarakat yang masih buruk.
Evaluasi program Polri Presisi, fokusnya mendorong pelaksanaan “revolusi mental”, menciptakan sistem pemerintahan yang bersih, akuntabel dan berkinerja tinggi. Pemerintah yang efektif dan efisien, serta pelayanan masyarakat yang berkualitas.
Sebenarnya, Reinventing, seperti pencarian DNA baru dalam sistem manajemen, seperti gagasan Osborn dan Gaebler. Dipahami sebagai sistem dengan ide New Public Management (NPM), perbaikan dari paradigma Old Public Administration (OPA).
Menggunakan seluruh potensi sumber daya Polri untuk membangun sebuah nilai tambah (value), atas kerja dan kinerja demi “kemaslahatan” masyarakat.
Ukuran idealnya, ketika Polri mampu memenuhi harapan atau kebutuhan (needs), dan mengatasi problem sosial keamanan melalui kebijakan dan implementasi kebijakannya.
Hasil dari proses reinventing Polri Presisi adalah, terbangunnya akuntabilitas dan transparansi dalam penyelenggaraan kerja-kerja Polri, sehingga tumbuh rasa percaya (trust), dan dukungan dari masyarakat. Ini sejalan dengan tujuan Polri Presisi, sebuah institusi yang makin canggih tapi juga makin di percaya masyarakat.
Kinerjanya dinilai berhasil, jika ada inovasi dan terobosan yang berkelanjutan dalam meningkatkan kinerja. Perlu, adanya jaringan-network-kemitraan sinergis, agar perubahannya menjadi lebih cepat, dan mendapat dukungan luas.
Syarat pentingnya, reformasi itu membutuhkan adaptasi dan perubahan pada “kultur birokrasi” yang telah ada di tubuh Polri. Dan program Polri Presisi, adalah langkah tepat dan kongkrit implementasi gagasan itu.
Reinventing, menjadi sebuah kelahiran kembali; kesadaran, pikiran, jiwa, setelah perjalanan satu tahun Polri Presisi, menjadi sosok yang makin dipercaya kekuatannya, tapi juga makin diakrabi karena kebaikannya.
Melayani dalam konteks Polri Presisi, adalah implementasi dari keterwakilan rakyat di dalam sosok seorang polisi. Sosok pribadi seorang polisi, berasal dari rakyat, untuk rakyat.
Wujud dari idealisme seorang “Gatotkaca”, dari sisi value kerja dan kinerjanya, tapi dengan “nurani” sebagai armor utamanya.
Idealisme Servant Leadership dan Sepotong Pizza Layanan Masyarakat
Melalui ‘Setapak Perubahan: Catatan Pencapaian Satu Tahun Polri yang Presisi’, Kapolri menuangkan gagasan transformatifnya. Menyusun visi, misi, dan apa saja yang dibutuhkan untuk mencapai transformasi Polri Presisi, agar tidak menjadi sebuah jargon formalitas di atas kertas.
Kapolri mengadopsi pemikiran santun-Robert K. Greenleaf, Teori Servant Leadership, “The great leader is soon as servant first”. Teori yang menempatkan pemimpin sebagai seorang “pelayan”, dalam konteks fungsi pokok Polri; melayani, melindungi dan mengayomi masyarakat.
“Pemimpin Pelayan”, harus memulai langkah reformatif-nya, dari kerja-kerja melayani masyarakat sebagai subjek utama yang harus mendapat layanan, perlindungan dan pengayoman. Dari sanalah lahir kepercayaan (trust), dari masyarakat, bahwa Polri Presisi adalah wujud nyata tindakan reformatif atas kerja dan kinerjanya.
Tantangan utama Program Polri Presisi, harus menjadi kesepahaman bersama, Polri secara serius mengadopsi nilai-nilainya secara personal dan institusional, sehingga ter-internalisasi dalam kerja-kerjanya. Sehingga masyarakat bisa memahami, betapapun rumit dan besarnya risiko dalam menjalankan program reformatif itu, harus menjadi sebuah gerakan bersama. Akar filosofinya pada ungkapan bijak, “perjalanan ribuan kilometer selalu dimulai dengan satu langkah pertama”.
Seperti ungkapan optimis pakar manajemen Peter F Drucker, “inovasi dan seorang inovator mencapai kesuksesan, bukan karena memandang adanya risiko dari tindakannya, tetapi kemampuan untuk melihat peluang dari risiko yang akan dihadapi serta memanfaatkannya menjadi sebuah jalan sukses”. Meski butuh kerja besar, Polri Presisi adalah sebuah jalan reformasi terbaik.
Gagasan reinventing atas seluruh kekuatan potensi Polri, menjadi solusi “meluruskan” kembali pandangan masyarakat yang negatif, pesimis dan mempertanyakan tekad Polri mewujudkan Polri yang baik; pelayanan masyarakat terintegrasi, modern, murah dan cepat. Pemeliharaan kamtibmas, dan penegakan hukum yang prediktif, bertanggung jawab, transparan, serta menjamin rasa keadilan masyarakat.
Apalagi, aksi nyata realisasi setapak perubahannya, masih dalam wujud 886 aplikasi tentang Polri, yang harus diintegrasikan menjadi satu data lebih sederhana, agar semuanya menjadi mudah dipahami dan diakses masyarakat.











Dan, seperti harapan sederhana Kapolri, “layanan Polri akan dirasa dekat, dirasa mudah, dirasa berguna, dan dirasa jelas alurnya. Sehingga masyarakat merasa nyaman. Sederhana saja, Saya ingin memaksimalkan kembali fungsi pokok Polri; melindungi, melayani, dan mengayomi. Saya ingin masyarakat bisa mendapatkan pelayanan Polri, semudah memesan pizza!”.
Semangat- Rastra Sewakotama!, menjaga, melindungi dan melayani. Semoga Polri dan Rakyat makin sinergi, membangun Indonesia!.

Muhammad Nabil Azra, Banda Aceh
https://peraturan.go.id/common/dokumen/bn/2009/bn6-2009.pdf
https://repository.unpar.ac.id/handle/123456789/2643
https://www.pengadaan.web.id/2021/05/diskresi-adalah.html
https://bandungberita.com/kapolri-polisi-yang-baik-harus-menerapkan-7-prinsip/
https://bkd.jogjaprov.go.id/informasi-publikmasyarakat/artikel/reinventing-government-mewirausahakan-birokrasi-how-the-entrepreneurial-spirit-is transforming-the-public-sector