Bottom Of Pyramid dan Democrazy Ekonomi

michal-matlon-7OxV_qDiGRI-unsplash (2)

Dominique Lapieree, pendiri organisasi  Action Aid for Lepers Children  of Calcutta, sangat brilian dalam menggambarkan potret kemiskinan atau orang miskin yang dibahasakan oleh C.K. Prahalad, spesialis strategi korporasi sebagai Bottom of the Pyramid (BOP). Tak berbasa-basi melalui statistika, namun cemerlang gambarannya. Melalui novel klasiknya, The City of Joy, Anand Nagar atau Negeri Bahagia yang dirilis pada tahun 1992 dan difilmkan pada tahun 1992 oleh sutradara Roland Joffe.

Dominique memaparkan potret nyata, sebuah kota kecil di Calcutta-Delhi, yang merupakan  daerah perumahan terpadat di planet bumi. Bagaimana  nasib lebih dari tujuh puluh ribu orang menempati daerah yang luasnya tidak sampai dua kali luas stadion sepak bola, dengan dua ratus ribu orang per mil persegi.  Sembilan dari sepuluh orang  ber-Product Domestic Brutto (PDB) tak lebih dari satu rupee, atau seharga seperempat harga beras.

Mengapa kemiskinan ekstrim bisa terjadi?, sebagaimana pertanyaan Daron Acemoglu dan James A.Robinson dalam buku Mengapa Negara Gagal (Why Nations Fail) yang mempertanyakan ketimpangan negara kaya dan negara miskin. Apakah kemiskinan bisa mati, hilang atau sekedar berkurang?.

Secara provokatif Jon Horgan dalam The End of Science, bahkan pernah menuliskan tentang “matinya kemiskinan”. Bahwa  “kematian” ini bagaikan sebuah dunia yang diliputi mayat—post mortem. Tetapi apakah hal tersebut bermakna sekedar “tidak ada lagi kemiskinan” atau “ketiadaan (nothingness)? Apakah makna “akhir” menyiratkan sebuah permulaan baru yang lebih baik atau bahkan kelahiran model kemiskinan baru? . Mengapa kemiskinan menjadi frasa penting dalam prolog diskusi ini.

Bicara demokrasi ekonomi, pararel dengan membicarakan isu ketimpangan ekonomi, utamanya isu kemiskinan. Ketika membicarakan kemiskinan, masyarakat miskin menjadi basis argumentasi kritis dalam berbagai diskusi dan diskursus yang selalu menarik. Apalagi ketika konteksnya berkaitan dengan dana pembangunan yang terus melimpah, namun tetap diikuti dengan persentase tingkat kemiskinan yang masih tinggi. Apakah sesungguhnya kemiskinan itu memang sekedar konsekuensi logis pembangunan, atau dampak perilaku moral hazard seperti korupsi yang menjadikan kemiskinan sebagai komoditas?. Atau mungkin cara pandang kita yang salah dalam memahami kemiskinan hanya sebagai aib atau beban pembangunan?. Atau demokrasi ekonomi yang masih setengah hati kita jalankan?.

(Sandeep Adhwaryu - sulselberita.com)

Berbagai kebijakan ekonomi oleh pemerintah terus didorong untuk mengentas kemiskinan sebagai simbol keberhasilan pembangunan berbasis pemerataan ekonomi, namun sebenarnya juga menjadi penanda berbagai kegagalan atas peran besar kebijakan yang disulap atas nama demokratisasi ekonomi.

Sesungguhnya kebijakan tersebut adalah upaya manipulatif untuk mengkamuflase kemiskinan agar tak kentara, termasuk dalam memanipulasi statistika, sebagai kelompok marginal dengan ketergantungan ekonomi dan selanjutnya menjadi ‘komoditas”, bagi pemerintah yang bebal maupun korporasi kuat. Bahkan dalam lika-liku implementasi koperasi sebagai ” soko guru” ekonomi Indonesia yang masih di perlakukan sebagai “kuperasi”, telah meleset jauh dari tujuan terbaiknya.

Dua puluh tahun yang lalu, pada September 2000, 189 kepala negara menghadiri Millenium Summit di New York, Amerika Serikat, dan menandatangani apa yang mereka sebut sebagai “Tujuan Pembangunan Abad Millenium atau Millenium Development Goals ; MDGs, yang bertujuan menghapus kemiskinan jelang 2015. Mereka mengidentifikasi banyak dimensi dalam kemiskinan–bukan hanya penghasilan yang tidak mencukupi, melainkan juga kurangnya pelayanan kesehatan serta akses untuk mendapatkan air bersih. Problem kemiskinan sangat multidimensi.

Mereka membicarakan ketimpangan dan gap dalam ruang yang kita pahami sebagai wujud “demokrasi ekonomi”. Ketika setidaknya tiga hal mendasar, mencakup; akses terhadap sumber daya ekonomi, tingkat pendapatan masyarakat yang berkaitan dengan daya beli (purchasing power), dan partisipasi masyarakat dalam kegiatan ekonomi, terabaikan atau dijadikan komoditas oleh sebuah kepentingan, baik negara maupun korporasi. Apakah upaya besar MDGs itu menjadi sebuah upaya sia-sia atau sebuah optimisme baru dalam kekalutan model demokrasi ekonomi yang salah kaprah?. 

Mengapa kemiskinan menjadi mantra besar dalam pembahasan global tersebut?. Dimana akar sesungguhnya dan apa relevansinya dengan bangunan demokrasi ekonomi. Apakah pemahaman kita yang salah tentang bagaimana mesin demokrasi ekonomi itu bekerja, atau ini sebuah kesalahan manusia karena soal perilaku atau moral hazard?. Agaknya pertanyaan besar Hernando De Soto, dalam buku The Mystery of Capital, benarkah negara miskin itu memang benar-benar miskin?, masih menjadi misteri besar bagi kita semua hingga saat ini.

Darimana Demokrasi Ekonomi Bermula?.

Demokrasi ekonomi terkait erat dengan pengertian kedaulatan rakyat di bidang ekonomi. Istilah kedaulatan rakyat  dikembangkan oleh para pakar sebagai konsep filsafat hukum dan filsafat politik. Sebagai istilah, kedaulatan rakyat lebih sering digunakan dalam studi ilmu hukum daripada istilah demokrasi yang biasa dipakai dalam ilmu politik. Namun, pengertian teknis keduanya sama saja, yaitu sama-sama berkaitan dengan prinsip kekuasaan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. 

Konsep demokrasi juga meliputi cakupan yang sama, yaitu kedaulatan rakyat di bidang politik dan ekonomi. Kedaulatan rakyat di bidang politik berasal dari tradisi liberalisme barat modern dan disebut dengan demokrasi. Istilah demokrasi ekonomi di Barat baru dikenal setelah wacana tentang kedaulatan rakyat di bidang ekonomi mencapai perkembangan puncaknya dalam tradisi politik Eropa Timur yang akrab dengan paham sosialisme ekstrim.

Jauh di Perancis dan Rusia, duo revolusi, Revolusi Perancis dan Revolusi Oktober 1917 di Rusia, keduanya ternyata melahirkan dua gagasan “demokrasi” yang perdebatannya tak pernah berhenti hingga saat ini. Revolusi Perancis melahirkan “demokrasi politik” ala kaum borjuis, sehingga identik dengan demokrasi liberal, sedangkan Revolusi Oktober 1917 di Rusia, melahirkan “demokrasi ekonomi”, sebagai “ibu” demokrasi rakyat. Indonesia sebagai negara yang baru merdeka di bawah kendali Bung Karno dan Bung Hatta, mengadopsinya dalam Revolusi Indonesia 1945.

Itulah mengapa dalam konteks akar perdebatan soal demokrasi ekonomi di Indonesia, wacana demokrasi ekonomi muncul bergandengan dengan demokrasi politik zaman era kolonial. Perspektif founding fathers awalnya menganggap keduanya sebagai sebuah persoalan yang terpisah (parsial). Dalam wujudnya kemudian, demokrasi ekonomi mencoba dipadupadankan dengan pemahaman demokrasi seperti gagasan Presiden AS Abraham Lincoln, yakni pemerintahan dari rakyat (of the people), oleh rakyat (by the people), dan untuk rakyat (for the people). 

Konsep demokrasi ekonominya kemudian dimaknai menjadi produksi oleh semua, untuk semua (production by all for all) yang mengandung pengertian partisipasi dan pemerataan. Sayangnya wujudnya dalam Penjelasan pasal 33 UUD 1945, yang mengacu pada sistem ekonomi Indonesia, baik istilah demokrasi politik dan bahkan istilah demokrasi itu sendiri tidak dijumpai di bagian mana pun dalam UUD 1945 tersebut.

Beruntungnya, pemahaman Bung Hatta, tentang konsep sistem demokrasi ekonomi, sebagai filsafat ekonomi alternatif terhadap sosialisme dan kapitalisme ternyata bersentuhan langsung dengan sudut akses terhadap sumber daya, seperti muatannya dalam pasal 33 ayat 2 UUD 1945, “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Frasa “menguasai” bukan hanya berarti memiliki, tetapi bisa juga mengatur, merencanakan, atau mendistribusikan secara adil yang intinya adalah mendekatkan sumberdaya kepada rakyat, untuk tujuan memakmurkan rakyat, bukan hanya negara atau korporasi. 

Sedangkan dari sisi partisipasi masyarakat dan pendapatan masyarakat,  Pasal 27 Ayat 2 menetapkan, “ Setiap warga berhak akan pekerjaan dan pendapatan sesuai dengan kemanusiaan”. Dengan demikian maka negara berkewajiban untuk menyediakan lapangan kerja dan melindungi masyarakat dalam pendapatan (income guarantee). Kesemuanya mengarah pada keseimbangan ekonomi yang menjadi basis bagi stabilitas dan pertumbuhan ekonomi sekaligus pemerataan kesempatan kerja dan hasil-hasil kegiatan ekonomi.

Tentu saja akan sangat timpang dan sepele, jika suksesnya agenda demokratisasi ekonomi, diukur dalam ukuran sekedar pemenuhan jaminan pendapatan dasar (basic income guarantee atau BIG-dalam konteks AS), yaitu menyisihkan sebagian dari pendapatan nasional untuk diberikan kepada siapa saja yang pendapatannya di bawah garis pendapatan dasar-yang di Indonesia disebut garis kemiskinan dan di jalankan melalui program Jaring Pengaman Sosial (JPS) dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada orang miskin. Dari sini kita dapat mengukur derajat demokrasi ekonomi yang berlaku di suatu negara. Bagaimana dengan persoalan mendasar tentang akses terhadap sumber daya, daya beli dan peran masyarakat terhadap sumber daya?. 

(Dokumen pribadi)

Negara tidak setiap saat bisa memberikan “ikan” sebagai penyambung hidup rakyat, tapi tidak menyediakan pancingnya. Akibatnya adalah ketergantungan akut berupa kemiskinan yang tak pernah kecil persentasenya. Krisis dengan cepat menggoyang sendi ekonomi dan kebangkitan ekonomi dari krisis juga lamban. 

Bagaimanapun demokrasi ekonomi dan tingkat kemiskinan sebuah jalinan yang pararel. Selama sebuah institusi negara dan korporasi besar tidak sejalan dengan idealisme demokrasi ekonomi maka ketimpangan akan menjadi warisan laten dalam perekonomian kita. Menjadi blunder dalam upaya kita membangun demokratisasi ekonomi ideal.

BOP Sebuah Optimisme dalam Democrazy Ekonomi?.

Apakah arsitektur perekonomian di Indonesia telah dibangun dalam format demokrasi ekonomi secara benar, atau masih menempatkannya sebagai anak diri dibandingkan demokrasi politik?. Dalam realitasnya menurut Dawam Raharjo, setidaknya Indonesia telah mencoba memulai proses bangunan demokratisasi ekonominya melalui lima segmen; Pertama, struktur organisasi ekonominya, 99% terdiri dari usaha kecil dan mikro (UKM).Kedua, berkembangnya gerakan koperasi yang cukup luas dari segi kuantitatif, meskipun secara kualitatif belum memenuhi 7 prinsip koperasi dan belum memiliki budaya ekonomi yang diamalkan. Ketiga, telah berkembang lembaga keuangan mikro, tetapi belum merupakan bagian dari sistem moneter dan kontribusinya terhadap volume usaha masih sangat kecil dibandingkan dengan sektor perbankan. Keempat, dilakukannya program pemberantasan kemiskinan dan bantuan kepada orang miskin. Dan kelima, dilakukannya desentralisasi pembangunan melalui skema otonomi daerah.

Bahkan program demokrastisasi ekonomi di masa mendatang akan meluas; Pertama, reformasi agraria yang bisa memberikan hak setiap keluarga tani memiliki luas lahan minimal untuk melakukan usaha tani. Kedua, desentralisasi dan lokalisasi produk pangan dan energi sehingga pangan dan energi bisa diproduksi secara lokal. Ketiga, pengembangan usaha kecil, usaha rumah tangga mikro, dan koperasi, baik di pedesaan maupun di perkotaan.Keempat, mengembangkan pasar rakyat sebagai pasar raya (super market) yang diselenggarakan secara koperasi. Kelima, mengembangkan pusat perbelanjaan (mall) yang sahamnya dimiliki oleh pelanggan. Keenam, mengembangkan stasiun gas secara koperatif yang sahamnya dimiliki oleh konsumen pengguna. Ketujuh, mengembangkan sistem unit banking atau bank lokal dan lembaga keuangan mikro (LKM). Kedelapan, mengembangkan pasar yang berkeadilan (fair trade) dalam pasar domestik mapun internasional. Kesembilan, desentralisasi pembangunan melalui otonomi daerah. Kesepuluh, melaksanakan program pemberantasan kemiskinan dan pembangunan daerah tertinggal.

Namun dalam banyak kasus, realitas masih memberikan gambaran kegagalan ekonomi di banyak sisi. Termasuk dalam kondisi paling mutakhir, paska “keruntuhan ekonomi” kita dalam krisis ekonomi 1989, dengan kehadiran pandemi Covid-19, yang memporakporandakan pondasi ekonomi kita. Kita kembali diuji, tentang ketahanan ekonomi, termasuk kemampuan masyarakat kita dalam bertahan secara ekonomi. Apakah kita harus merumuskan kembali, makna demokrasi ekonomi kita sebagai pembelajaran, termasuk soal kemiskinan sebagai ekses dari tidak berjalannya demokrasi ekonomi yang ideal.

Joseph E. Stiglitz, nobelis ekonomi, berargumen keras soal pemberantasan kemiskinan, dengan ide besar, mereformasi globalisasi. Menurutnya, perdebatan para raksasa dunia (IMF dan Bank Dunia), lebih fokus pada kebijakan ekonomi, itupun tidak bergeser pada seputar permasalahan inflasi ketimbang masalah upah, penggangguran atau pada implementasi mengentaskan kemiskinan. Menciptakan stabilitas ekonomi global lebih utama, sementara tugas mengurangi kemiskinan menjadi sekedar pekerjaan rumah. Terbukti bahwa terbukanya pasar, dengan hapusnya penghalang perdagangan (free trade), terbukanya pintu aliran modal, tidak serta merta memecahkan problem kemiskinan; sebaliknya justru memperburuk persoalan. Diperlukan sebuah sistem yang lebih adil dalam mengatur perdagangan.

Dengan argumentasi berbeda, C.K. Prahalad spesialis strategi korporasi, bahkan berkomentar, meski upaya untuk memanusiawikan 4 miliar jiwa-orang-orang yang hidup dengan kurang dari US$ 2 per hari, terus diupayakan, namun kemiskinan telah begitu kronis dan MDGs atau trickle down, sekalipun pada akhirnya hanya semakin menegaskan kenyataan tersebut. 

Ketika kita memasuki abad ke-21, kemiskinan dan ketimpangan yang menyertainya-tetap menjadi salah satu masalah dunia yang paling mencemaskan. Menurutnya globalisasi harus menjadi milik semua, bukan sebuah ”kepentingan” kelompok yang tidak memanusiawikan kelompok “bawah”. Bottom of the Pyramid (BOP), harus dimainkan lebih intens perannya dalam globalisasi. Sehingga tidak menjadi kelompok marginal yang di gombalisasi oleh globalisasi.

(Dokumen Pribadi)

Konsep C.K. Prahalad tentang BOP, setidaknya patut menjadi perhatian kita dalam menyikapi bangunan demokrasi ekonomi dan kemiskinan yang masih menyertainya. Mengapa?. Gagasan menarik yang diusung Prahalad, adalah konsep menang-menang. Ketika cara pandang harus diubah dan diakhiri, dari pandangan Negara miskin dengan masyarakat miskin sebagai kelas marginal yang menimbulkan masalah, menjadi sumber daya baru. Ini sebuah gagasan penuh harapan. Mengedepankan optimisme dalam kabut problematika kemiskinan. Sehingga sedari awal, negara-negara maju, akan mengubah paradigmanya bahwa negara dunia ketiga dengan kemiskinannya adalah asset yang membutuhkan mitra untuk membangunkan sumber dayanya. 

Ketika paradigma berbelok dari “sampah” menjadi “limbah yang bisa diolah” dan berharga. Kemiskinan dalam pola lama pada akhirnya akan mati, dan berganti pada gambaran positif, “orang miskin” sebagai sumber daya baru. Namun kita juga tidak mau berdebat hanya dalam tataran permainan istilah, miskin yang sama dengan “baju” yang berbeda. Atau lebih parah lagi, melihat potensi besar dunia ketiga menjadi bahan mainan, sehingga asumsi potensi besar tenaga murah terus mengemuka, wacana ini harus beralih.

Lebih jauh, implementasi gagasan ini harus dimunculkan dalam “ruh” kewirausahaan. Prahalad menyebutnya dengan istilah “Tata Kelola Orang Miskin”. Ini gagasan menarik, bagaimana orang miskin memiliki konsep tata kelola, sehingga memiliki bargaining power dalam proses pemberdayaan pengentasan kemiskinan, mengangkat BOP, menjadi kelas yang diperhitungkan. 

Optimisme memerangi kemiskinan yang digambarkan Prahalad adalah mengubah citra, gambar-gambar klasik kemiskinan yang menutupi kenyataan bahwa masyarakat miskin sebenarnya mencerminkan para wirausahawan yang tangguh dan peduli-nilai. Apa yang diperlukan adalah pendekatan lebih baik untuk membantu masyarakat miskin itu, pendekatan yang melibatkan kemitraan dengan mereka, untuk memulai dan mencapai skenario-skenario menang-menang yang berkesinambungan. Dimana masyarakat miskin aktif terlibat dan pada saat yang sama, perusahaan-perusahaan yang memberikan produk dan jasa kepada mereka memetik keuntungan. Sehingga kebijakan pemerintah yang mendorong dan menstimulasi para pengusaha Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM), adalah sebuah langkah penting dalam analogi memberi “pancing” bukan “ikan”.

Nawacita, visi yang menjadi prioritas Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, adalah sebuah gagasan menarik. Nawacita adalah sembilan prioritas pembangunan lima tahun kedepan yang diharapkan akan membawa Indonesia menjadi negara yang berdaulat secara politik, mandiri dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan. Kita berharap dalam implementasinya Nawacita tidak hanya menjadi slogan dan janji belaka, namun akan menuntun kebijakan pemerintah, kemana arah pembangunan akan dikendalikan

(Dokumen Pribadi)

Reinventing yang dilakukan Fadel Muhammad, mantan Gubernur Gorontalo dalam tata kelola komoditas jagung, adalah sebuah contoh nyata, mewakili pemikiran Dawam Raharjo dan Prahalad dalam membangun sebuah Demokrasi Ekonomi di Indonesia. Ketika gubernur (pemerintah) menjadi penyedia ruang bagi masyarakat (petani jagung) untuk memasarkan produk melalui kemitraan dengan pihak ketiga (korporasi) dengan harga yang terstandarisasi. 

Implementasi Gramen Bank yang digagas Muhammad Yunus, adalah contoh lainnya yang menarik, bahwa dalam BOP terdapat uang.  Yunus membuktikan paradigma yang diusung Prahalad, bahwa melibatkan orang miskin dalam kemitraan yang serius, membawa semua pihak pada win-win solution. Apakah upaya kita “memanusiakan manusia” melalui kebijakan demokratisasi ekonomi sudah melangkah ke jalan yang lurus dan benar. Apakah cukup sebuah kebijakan yang baik, tanpa disertai “niat baik”?. Kita bermimpi nyala demokrasi ekonomi akan semakin benderang, namun tidak akan membakar diri kita sendiri.

Referensi

http://binapemdes.kemendagri.go.id/blog/detil/nawacita_jokowi_jk:_membangun_indonesia_dari_perba

C.K. Prahalad; alih bahasa, Ahmad Fauzi The Fortune at the Bottom of the Pyramid, Mengentaskan kemiskinan Sekaligus Memperoleh Laba, Penerbit Jakarta Indeks, Tahun 

Daron Acemoglu dan James A. Robinson, Mengapa Negara Gagal? Awal Mula Kekuasaan Kemakmuran Dan Kesuksesan, Cetakan Ke-5, Penerbit Elex Media Komputindo, Jakarta 2018.

https://en.wikipedia.org/wiki/City_of_Joy_(1992_film)

Fadel Muhammad, DR.Ir, Reinventing Local Government, Pengalaman Dari Daerah, Cetakan Ke-1, Penerbit Elex Media Komputindo, Jakarta 2008

Joseph E. Stiglitz, Making Globalization Work, Penerbit Mizan, Bandung, 2006.

Jon Horgan, The End of Science, Senjakala Ilmu Pengetahuan, Penerbit Mizan, Bandung , 2006.

http://www.jimly.com/makalah/namafile/60/Demokrasi_Ekonomi.pdf

https://media.neliti.com/media/publications/160458-ID-penerapan-prinsip-demokrasi-ekonomi-kead.pdf.

http://pusdi-ebi.feb.unpad.ac.id/demokrasi-ekonomi-di-masa-depan-indonesia/

Post a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Isi Pikiran Lainnya